POLRES METRO GELAR PELATIHAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PERSONEL DAN PENYIDIK DENGAN BEDAH KUHP UU NO 1 TAHUN 2023.
KOTA METRO,https://Lharismanews –The Living Law atau hukum yang hidup di masyarakat atau local wisdom sebagaimana di atur didalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No Tahun 2023 Tentang KUHP Nasional tidak serta merta dapat diberlakukan atau dilaksanakan tangal 2 Januari 2026 , sebelum adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang dijadikan dasar pembentukan peraturan daerah (Perda) untuk mengatur mengenai keberlakuan hukum adat ditiap daerah masing masing. Hukum adat berlaku ditempat hukum itu hidup sepanjang tidak diatur didalam KUHP Nasional, sesuai dengan nilai nilai yang terkandung didalam Pancasila dan UUD 1945, HAM, asas asas umum yang diakui masyarakat bangsa bangsa. Hal itu di sampaikan Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H.,M.H., C.LAd, C.LC., C.CM., C.MT Master Trainer Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Pelatihan Peningkatan Kemampuan Kepada Personil Polres Metro dan Jajaran Dalam Rangka Bedah UU No 1 Tahun 2023 Tentang KUHP. Guna Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat, Selasa (9/12/2025) pagi.
Kegiatan ini dibuka oleh Kapolres Metro AKBP Hangga Utama Darmawan, S.I.K., Wakapolres, para kasat, kapolsek, kanit, dan personil polri di lingkungan Polres Metro, yang dilaksanakan secara luring dan daring bagi para kanit di polsek polsek wilayah hukum Polres Metro.

Lanjut Edi Ribut Harwanto, yang juga menjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro ini, keberlakuan the living law atau local wisdom menjadi hukum materil Pasal 2 ayat (2) ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal (1) ayat (1) tentang asas legalitas KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup di masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut di pidana walaupun perbuatanya tersebut tidak diatur dalam undang undang ini. The living law, Pasal 2 ayat (2) merupakan implementasi dari amat Pasal 1B ayat (2) UUD 1945 amandemen ke-2. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip nkri yang diatur didalam UU”. Pasal 597 ayat (1) KUHP Nasional
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang diancam dengan ancaman pidana”. Ayat (2), “pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana di maksud Pasal 66 ayat (1) huruf f,”pemenuhan kewajiban adat setempat”. Untuk melaksanakan penerapan hukum adat ini, oleh APH adat di penjelasan ayat (2) KUHP sanksi pidana adat terlebih dahulu dibentuk Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman untuk menyusun Perda hukum adat di masing masing daerah kabupaten kota di seluruh Indonesia.
Lanjut Edi Ribut Harwanto, anak didik Guru Besar (GB) UNDIP Semarang Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., M.H selaku (ketua tim penyusun buku I KUHP Nasional, mengatakan, norma norma baru dalam KUHP Nasional ini, khususnya dalam perumusan mengenai tujuan pemidanaan, sebagaimana di atur didalam ketentuan Pasal 51 huruf a, b, c, d dan Pasal 52 KUHP. Konsep pemidanaan didalam KUHP Nasional ini, telah merubah paradigma konsep teori teori klasik hukum pidana mutlak (pembalasan) dari para ahli hukum dan para filsafat barat.

Seperti pandangan, Imanuel Khan, Stahel, Herbart, dan Hegel. Secara umum, para filsuf barat ini, dalam teorinya klasiknya mengatakan bahwa hukum itu harus dianggap sebagai pembalasan terhadap penjahat itu. Sementara dalam konsep mengenai tujuan pemidanaan KUHP Nasional lebih menekankan, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat.
Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna. Selanjutnya, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat. Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Konsep tujuan pemidanaan ini, lebih pada sebagai wujud perlindungan miranda rull perlindungan bagi tersangka atau terdakwa, dalam rangka menegakan HAM dan penerapan hukum KUHP Nasional lebih humanis dan memberikan perlindungan hukum pembinaan bukan sebagai dianggap sebagai musuh dan hukuman balasan seperti pandangan teori klasik hukum pidana KUHP yang lama. Oleh sebab itu, di dalam ketentuan KUHP Nasional, mengatur, dengan tetap mempertimbangkan Pasal 51 dan Pasal 54 KUHP Nasional, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan terdakwa adalah anak, terdakwa umur 75 tahun, terdakwa baru pertama melakukan tindak pidana, kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar dan terdakwa telah membayar ganti rugi.
Selanjutnya, didalam KUHp Nasional, kini membagi tindak pidana di bagi tiga, pidana pokok, pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang diatur dalam UU. Hal itu diatur didalam Pasal 64 KUHP tentang Pidana dan Tindakan. Dalam perkembangannya juga KUHP Nasional dalam criminal policy Pasal 65 ayat (1) Pidana Pokok ada pidana penjara, pidana pengawasan, pidana denda, pidana tutupan dan pidana kerja social. Pidana tambahan, diatur Pasal 66 ayat (1), pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, pengumuman putusan pengadilan, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu pemenuhan kewajiban adat setempat.
Hal yang paling penting yang perlu dilaksanakan oleh APH adalah penerapan hukum pidana berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini penting karena APH jika hanya menerapkan hukum formal dan materil saja dalam melaksanakan penegakan hukum, dan meninggalkan ajaran ketuhanan, maka potensi malpraktek hukum dalam pelayanan kepada masyarakay kemungkinan besar akar terjadi. Pasal 1 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, peradilan dilakukan demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 2, peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
UU No 2 Tahun 20002 Tentang Polri dan Dalam Perkap No 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Polri Pasal 2 huruf A. Calon anggota polri untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Etika profesi polri adalah kristalisasi nilai nilai tribrata yang yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota polri”. “Artinya APH polri, jaksa, hakim, ditiap penegakan hukum diwajibkan bersandar pada nilai nilai religius agar dalam melaksanakan tugas pokok pelayanan ketertiban keamanan kepada masyarakat taat pada hukum positif taat pada hukum Tuhan seperti di surat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (8),” sehingga APH dalam melaksanakan tugas selain amanah (dapat dipercaya), sidik (jujur), tabligh (menyampaikan terbuka), fatanah (cerdas/bijaksana), sehingga kepercayaan public meningkat dan dicintai rakyat,” kata Edi Ribut Harwanto.



Post Comment